13 Nov '14 pukul 13.57 PM
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu : Bpk. NIWARI, M.Ag
Disusun Oleh :
Eka Etika Sari (932210713)
M. Sadya Taufik (932210813)
Afin Muchlas Pratama
Kelas D Semester III
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) KEDIRI 2014-2015
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu Jarh wa Ta’dil yang di kenal juga dengan istilah ilmu Mizan al-rijal dalam literatul barat sering disebut dengan istilah Diparaging and Declaring Trustworty, yang mengandung pengertian “ ilmu yang membahas tentang perawi, baik yang dapat mencacatkan ( menodai ) ataupun yang membersihkan mereka dengan ungkapan lafadz lafadz tertentu.
Ilmu ini merupakan salah satu ilmu terpenting dan tinggi nilainya karena dengan ilmu ini dapat membedakan antara yang sahih (sehat) dengan yang saqim, antara yang di terima dan di tolak, mengingat timbulnya hukum – hukum yang berbeda – beda dari tingkatan al-Jarh dan Ta’dil ini.
Dengan demikian ilmu al Jarhu wa Ta’dil merupakan bidang ilmu yang
membahas tentang sifat-sifat perowi hadits dari segi bisa diterima dan tidaknya. Ia membicarakan tentag sisi negatif dan positif perowi hadits secara mendetail, apakah perowi yang dimaksud tergolong tsiqoh, adil, dhobith, atau sebaliknya. Sampai dimana perowi itu dikatakan berbohong , lalai, pelupa, dan sebagainya. Ilmu ini juga lazim disebut dengan ilmu “Kritik Sanad”, karena perannya dalam memberi kritikan pada para perowi hadits atau memberikan pujian pada mereka.
Oleh sebab itu para ulama’ hadits memberi perhatian serius akan ilmu ini dan mencurahkan segenap kemampuan intelektual mereka untuk dapat menguasai. Mereka pun bersepakat akan legalitas ilmu ini bahkan tentang kewajiban menerima, mengingat ia memiliki andil besar dalam menjaga syari’at islam. Diantara landasan syara’ yang dijadikan dasar atas penerapan al Jarhu wat Ta’dil ialah Firman Allah swt:
يَا آَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيّنُوْا إِنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْ
ا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
Artinya:“Hai Orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah pada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (al Hujarot : 6)
Secara tegas ayat ini menunjukkan tentang wajibnya tabayyun (memeriksa dan meneliti) berita dari orang fasiq, dan tidak menerima begitu saja. Hadits yang dipertimbangkan sebagai dasar al Jarhu antara lain ialah riwayat Aisyah ra berupa :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَآهُ قَالَ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيْرَةِ وَ بِئْسَ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ
Artinya: “Dari Aisyah berkata : “Bahwa seorang laki-laki pernah meminta izin kepada Nabi saw, maka ketika melihatya, beliau bersabda : “Sejelek-jelek orang adalah saudara golongan dan sejelek-jelek orang ialah anak laki-laki golongan itu”
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari al Jarh wa Ta’dil?
2. Bagaimana manfaat dari al Jarh wa Ta’dil?
3. Bagaimana metode yang di gunakan dalam al Jarh wa Ta’dil?
4. Bagaimana tingkatan dan hukum ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?
C. Tujuan
1. Mampu memahami pengertian al Jarh wa Ta’dil
2. Mampu memahami manfaat dari al Jarh wa Ta’dil
3. Mampu memahami metode yang di gunakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertiaan Ilmu Al-Jarh wa At-Tadil
Al-Jarh wa wa Ta’dil terdiri dari dua kata yakni al-jarh dan ta’dil. Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu (جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Sedangkan kata Al-Ta’dil(التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan.Ilmu al jarh, yang dari segi bahasa berarti luka atau cacat adalah ilmu yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya. Para ahli hadits mendefinisikan al jarh dengan;
اَلطَّعْنُ فىِ رَاوِي الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخُلُّ بِعَدَا لَتِهِ أَوْضَبْطِهِ.
Artinya; “Kecacatan pada perawi hadis karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitannya.’’
Adapun at ta’dil, yang dari segi bahasa berarti at tasywiyah (menyamakan),menurut istilah berarti
عَكْسُهُ هُوَ تَزْكِيَةُ الرَّاوِيِّ وَالْحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْضَابِطٌ.
Artinya : “Lawan dari al jarh, yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit.”
Ulama lain mendefinisikan al jarh dan at ta’dil dalam satu definisi, yaitu;
عِلْمٌ يَبْحَثُ عِنِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ مَاوَرَدَ فىِ شَأْنِهِمْ مِمَّا يُشْنِيْهِمْ أَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِاَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ.
Artinya : “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu .’’
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui para perawi, antara lain :
فُلاَنٌ أَوْثَقُ النَّاسِ (fulan orang yang paling dipercaya), فُلاَنٌ ضَابِطٌ (fulan kuat hapalannya), فُلاَنٌ حُجَّةٌ dan (fulan hujjah)
Adapun contoh Untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain:
فُلاَنٌ أَكْذَبُ النَّاسِ (fulan orang yang paling berdusta), فُلاَنٌ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ (ia tertuduh dusta), فُلاَنٌ لاَ مُحَجَّةٌ (fulan bukan hujan).
Jadi, ilmu Al-jarhi wa Ta’dil ialah ilmu yang membahas keadaan keadaan perawi dari segi diterima atau di tolak riwayatnya.
B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Diantara hasil perjuangan yang sangat berfaedah dari ulama’ hadis ialah lahirnya Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil atau ilmu Mizani Rijal yaitu yang membahas perilaku para rawi, keterpercayaannya, atau sebaliknya. Ilmu yang tumbuh dalam rangka gerakan mulia ini, sepanjang sejarah umat manusia di manapun, al-Jarh wa al-ta’dil-lah yang paling menonjol dan paling berfaedah. Adapun yang menyebabkan lahir dan tumbuhnya ilmu tentang prilaku para rawi ialah kesungguhan ulama dalam usaha menjaga kemurnian hadis.
Munculnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil seiring bertumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya, sejak terjadi al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak saat itulah, para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah S.W.A, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masa tabi’in dan at-ba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadis. Diantara para tabi’in yang membahas al-jarh wa al-ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibnu Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H). Ulama-ulama al-jarh wa al-ta’dil menerangkan kejelasan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (82 H-160 H), pernah ditanyakan tentang hadis Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.
Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil telah ada sejak zaman sahabat, berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “menyelamatkan” hadis Nabi dari “noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.
Demikianlah sesungguhnya ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah kewajiban syar’iyang harus dilakukan. Penelitian terhadap para perawi dan keadilan bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadis, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.[
Al-Jarh dan al-ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, tapi untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan para pendusta. Maka hal itu, merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil tidak akan mungkin bisa, dibedakan mana hadis yang asli dan mana hadis yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu al-jarh wa al-ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk men-tajrih dan men-ta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdur Razaq bin Humam (211 H).
Perkembangan ilmu al-jarh wa al-ta’dil mencapai puncaknya pada abad ke-3 H. pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi (w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261 H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi (w.277 H), Baqi Ibnu Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-Dimasqy (w.281 H).
Setelah proses yang panjang kemudian di mulailah penulisan kitab tentang al-Jarh Wa al-Ta’dil.Adapun yang mula-mula menulis dan mempercakapkan mengenai masalah al-Jarh wa al-Ta’dilialah; Yahya bin Mu’in (233 H), Ahmad bin Hambal (241 H), Muhammad bin Sa’d seorang penulis kitab al-Waqidi dan at-Tabaqot serta berkedudukan tinggi, dan Ali Almadani (234 H), dan setelah itu muncul-lah Imam Bukhari, Muslim, Abu Zar’ah, Abu Hatim Arraziyan, Abu Daud Assajastani, setelah itu diikuti ulama’ hingga akhir abad IX Hijriyyah.
C. Manfaat Ilmu Al Jarh Wa Ta’dil
Adapun at ta’dil, yang dari segi bahasa berarti at tasywiyah (menyamakan),menurut istilah berarti
عَكْسُهُ هُوَ تَزْكِيَةُ الرَّاوِيِّ وَالْحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْضَابِطٌ.
Artinya : “Lawan dari al jarh, yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit.”
Ulama lain mendefinisikan al jarh dan at ta’dil dalam satu definisi, yaitu;
عِلْمٌ يَبْحَثُ عِنِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ مَاوَرَدَ فىِ شَأْنِهِمْ مِمَّا يُشْنِيْهِمْ أَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِاَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ.
Artinya : “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu .’’
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui para perawi, antara lain :
فُلاَنٌ أَوْثَقُ النَّاسِ (fulan orang yang paling dipercaya), فُلاَنٌ ضَابِطٌ (fulan kuat hapalannya), فُلاَنٌ حُجَّةٌ dan (fulan hujjah)
Adapun contoh Untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain:
فُلاَنٌ أَكْذَبُ النَّاسِ (fulan orang yang paling berdusta), فُلاَنٌ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ (ia tertuduh dusta), فُلاَنٌ لاَ مُحَجَّةٌ (fulan bukan hujan).
Faedah atau manfaat mengetahui ilmu jarh wa ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayat seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatnya harus ditolak. Sebaliknya bila di ta’dil sebagai orang yang adil maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi, secara umum berkisar pada lima macam, yaitu
1. Bid’ah, melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara’
2. Mukhalafah, meriwayatkan hadis yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih siqah.
3. Galat, banyak kekeliruan dalam periwayatannya
4. Jahalatul hal, tidak dikenal identitasnya
5. Da’wal inqita’, di duga keras sanadnya terputus
Keadilan seorang rawi dapat di ketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut.
1. Bis-syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti anas bin malik, sufyan as-sauri, syu’bah bin al hajjaj, asy- syafi’I, ahmad dan lain sebagainya. mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli hadis maka mereka tidak perlu lagi untuk di perbincangkan keadilannya.
2. Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Penetapan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang di ta’dil kan itu belum di kenal sebagai rawi yang adil. Begitupun kebalikannya dengan jarh.
Syarat bagi pen-ta’dil (mu’adil) dan pen-tajrih (jarih) sebagai berikut:
a. Berilmu pengetahuan
b. Takwa
c. Wara’ (orang yang selalu menjahui perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil dan makruhat)
d. Jujur
e. Menjauhi fanatic golongan
f. Mengetahui sebab-sebab men-ta’dil dan men-tajrih
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, dimana sebagaian ulama men-ta’dil dan sebagaian yang lain men-tajrih maka dalam hal ini terdapat empat pendapat
1. Jarh harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’adil lebih banyak dari pada jarhnya. Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi dari pada mu’addil. pendapat ini di anut oleh jumhur ulama.
2. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh. karena jarh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihnya bersifat subjektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau objektif.
3. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajah maka didahulukan ta’dil. Jumlah yang banyak merupakan kedudukan mereka.
4. Masih tetap dalam pertentangan selama belun di tentukan yang men-jarh-nya.
D. Metode Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Berangkat dari realitas bahwa fokus keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil sangat diperlukan, karena menyangkut kajian kritik sanad adalah tentang kualitas para rawi. Sebab melalui ilmu ini telah mengungkap berbagai informasi, terkait dengan keadaan para rawi hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis.
Persoalan ini ialah banyaknya nama rawi yang terlibat, banyaknya nama rawi yang sama, rentang waktu yang panjang dari rawi awal hingga akhir, dll, sehingga apabila dirunut secara teliti memungkinkan terjadinya kekeliruan. Sehingga sejauhmana informasi yang diberikan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang seorang rawi serta keberadaan para pengkritik (kritikus) itu sendiri, yakni bagaimana kondisi sosio-kultural, hubungan para pengkritik dengan rawi, spesialisasi, ukuran dan metode yang dipakai oleh para pengkritik dalam penilaian rawi terhadap rawi yang dikritiknya.
Oleh karena itu bagaimana metode ilmu jarh wa ta’dil yang diberlakukan ulama hadis dengan pendekatan ontologi dan epistemologi
1. Pendekatan Ontologi
Keberadaan ilmu jarh wa ta’dil sebagai “ilmu”, mengharuskan ilmu ini untuk mengupayakan adanya aktifitas jarih dan mu’addil yang menggunakan metode tertentu dan menghasilkan sesuatu yang sistematis. Secara ontologis, ilmu membatasi ruang lingkup kajiaannya pada wilayah yang terjangkau oleh pengalaman manusia. Pengalaman yang berada pada pra dan pasca-dunia empirik manusia diserahkan pada pengetahuan lain, agama.
Ontologi membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Persoalan yang muncul ialah apa sebenarnya yang menjadi kajian dan apa hakikat ilmu jarh wa ta’dil. Maka kajian terhadap klasifikasi dan konsep tentang ilmu perlu dipaparkan. Pada abad ke-18 dan ke-19, sewaktu rasionalisme memuncak dan semangat keilmuan sangat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, kategori ilmu dikhususkan bagi kajian yang memiliki dalil atau teori yang dapat digunakan sebagai rujukan. Akibatnya, ilmu-ilmu kemanusiaan (human science) tidak dapat dikategorikan sebagai “ilmu”. Ilmu jarh wa ta’dil, rawi-rawi dalam rangkaian sanad yang akan dinilai jarh dan ta’dil-nya pada dasarnya mengambil rawi (manusia) sebagai objek kajiannya. Dengan demikian ilmu ini dikatagorikan ke dalam kelompok ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dari segala aspek kehidupannya, ciri-ciri khasnya, tingkah lakunya, perorangan maupun bersama dan menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus objek. Menjawab pertanyaan “ilmiahkah seperangkat aktivitas dalam ilmu jarh wa ta’dil dan apakah ilmu itu telah menempatkan dirinya pada dataran ilmu?” maka hal ini, harus dimulai dengan membuka kunci pengertian “ilmiah” itu sendiri. Secara umum aktivitas keilmuan dikatakan ilmiah dan ilmu dikatakan telah menempatkan diri pada posisinya apabila aktivitas yang dilakukannya dilandasi oleh dasar pembenaran, bersifat sistematik dan inter-subjektif.
Semangat ilmiah para pakar ilmu hadis berkaitan dengan ilmu jarh wa ta’dil tampak dari sikap mereka yang memberikan perhatian yang cukup besar dan penekanan yang tegas akan pentingnya sikap kritis terhadap sanad (penelitian rawi). Dengan demikian berarti ilmu jarh wa ta’dil diposisikan sebagai ilmu dalam ruang lingkup empiris dan jangkauan manusia.
Dengan pendekatan ontologi ini, terlihat bahwa ilmu jarh wa ta’dil di mata filsafat keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu.
2. Pendekatan Epistemologi
Metodologi ilmu jarh wa ta’dil ini difokuskan pada dua tokoh yang kredibilitasnya diakui oleh banyak ulama hadis, yakni Abu Hatim Ar-Razi dengan kitabnya al-jarh wa ta’dil yang mewakili masa klasik, dan Ibn Hajar al-Asqalani dengan kitabnya Tahdzhib al-Tahdzib yang mewakili periode tengah. Dipilihnya dua tokoh tersebut, disamping karena kredebilitas dan kapabilitas mereka yang handal, juga karena kedua kitab tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama hadis sesudahnya.
Menurut Ali Syari’ati sebagaimana dikutip Mukti Ali, “untuk membaca seorang tokoh dengan segenap lingkup kehidupannya, setidaknya ada dua metode fundamental yang harus digunakan. Pertama, meneliti pikiran-pikirannya. Kedua meneliti biografinya sejak awal hingga akhir”.
Beberapa persoalan mendasar yang berkaitan dengan keberadaan jarih mu’addil (kritikus) dengan metodenya yang terlihat dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil, ialah: Pertama, terlalu banyaknya rawi yang harus dinilai dan di kritik. Kedua, dalam menilai, para kritikus tidak mengkhususkan diri menilai orang yang semasa. Ketiga, penyusunan kitab tentang jarh wa ta’dil dengan informasi yang sangat minim.
BAB III
A. Tingkatan – tingkatan al-Jarh wa Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilan, kedhabitan dan hafalan mereka sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula orang yang sering lupa dan salah padahal mereka adalaha orang yang ‘adil dan amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadist, maka allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulamayang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu para ulama meningkatkan tingkatan jarh dan ta’dil, dan lafazh lafahz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam tingkatan juga.
a. Tingkatan tingkatan at-Ta’dil
Tingkatan pertama yang menggunakan superlatif dalam penta’dilan, atau dengan
menggunakan wazan “af-fala”, seperti : “ fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan”,atau,” fulan orang yang paling tepat periwayatannya dan ucapannya”.
Tingkat kedua : dengan menyebutkan sifat menguatkanketsiqahannya, ke’adilan dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafazh maupun dengan makna seperti : “tsiqah – tsiqah” , “ tsiqah – tsabat “, atau “ tsiqah dan hafish”.
Tingkat ketiga : yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan akan hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin.
Tingkat keempat : yang menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan tanpa
adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti : shadug (jujur), ma’mun ( di pecaya), mahallum ash-shidiq ( ia tempatnya kejujuran ).
Tingkat kelima : yang tidak adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti : “ fulan syaikh “ ( fulan seorang syaikh ), “ ruwiya ‘anhu al-hadist “ ( orang yang meriwayatkan hadist darinya ).
Tingkatan keenam : isyarat yang mendekati pada celaan (jarh), seperti : shahih al-hadist ( hadistnya lumayan ), atau “yaktabu haditsuhu “ ( di tulis hadistnya ).
Hukum Tingkatan – Tingkatan I ni.
a. Untuk tiga tingkatan, dapat dijadikan hujjah, meskipun mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
b. Adapun tingkatan keempat dan kelima tidak bisa di jadikan hujjah, tatapi hadist mereka boleh di tulis, dan di uji kedhabitan mereka dengan membandingkan hadist mereka dengan hadist – hadist para tsiqah yang dabith. Jika sesuai dengan hadist mereka maka bisa dijadikan hujjah. Jika tidak sesuai maka di tolak, meskipun dia dari tingkatan kelima yang lebih rendah ari tingkatan keempat.
c. Sedangkan tingkatan keenam, tidak bisa di jadikan hujjah, tetapi hadist mereka di tulis untuk di jadikan pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabit.
b. Tingkatan – tingkatan al-jarh
Tingkatan pertama : yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh (kritikan), seperti : ( lemah hadistnya ), atau fiihi maqaal ( dirinya dibicarakan).
Tingkatan kedua : yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap perawi dan tidak boleh di jadikan sebagai hujjah, seperti : “ fu;an tidak boleh di jadikan sebagai hujjah “, dhaif “ ia mempunyai hadist – hadist yang mungkar.
Tingkatan ketiga : yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh di tulis hadistnya, seperti : fulan dha’if jiddan (dhaif sekali), atau wahin marrah (sangat lemah).
Tingkatan keempat : yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadist, seperti : fullan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta), atau “laisa bi tsiqah” ( bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan kelima : yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini adalah seburuk busurknya tingkatan, seperti “ fulan orang yang paling pembohong” atau “ ia adalah puncak dari kedustaan”.
Hukum tingkatan tingkatan ini.
a. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa di jadikan hujjah, terhadap hadist mereka, akan tetapi boleh di tulis untuk di perhatikan saja, da walaupun orang pada tingkatan kkedua lebih rendah dari pada tingkatan pertama.
b. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh di jadikan hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak boleh di anggap sama sekali.
Orang orang paling mahsyur berbicara mengenai perawi
Ketika muncul berserakan pemalsuan hadist, para ulama muncul untuk memeranginya, mereka memperhatikan para perawi dan mengenali mereka. Dan sejmlah tabi’in juga berbicara mengenai jarh dan ta’dil, di antara mereka yang paling terkenal pada generasi muda ialah :
1. Sa’id bin jubair ( wafat tahun 95 H)
2. Sa’id bin AL-musayyib (wafat tahun 94 H)
3. Amir asy-sya’bi ( wafat tahun 103 H)
4. Muhammad bin sirin (wafat tahun 110 H)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. ilmu Jarh wa al-Ta’diladalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
2. Sejarah dan perkembangan ilmu Jarh wa al-Ta’dil yaitu munculnya ilmu jarh wa ta’dil seiring bertumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya, sejak terjadi al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW.
3. Kegunaan dan objek kajian ilmu Jarh Wa Al-Ta’dilialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi sudah ditarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya ditolak dan apabila seorang rawi di ta’dilsebagai orang yang adil maka periwayatannya diterima.
4. Tingkatan dan hukum ilmu Jarh wa al-Ta’dilPara perawi yang meriwayatkan hadis bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi ke’adilandan kedhabitan , dan hafalan mereka sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adildan amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadis, maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan ulama menetapkan tingkatan jarhdan ta’dil, dan lafadz-lafadz yang menunjukkan pada setiap tingkatan, sehingga tingkatan ta’dil ada enam tingkatan dan tingkatan jarh ada enam juga. Seperti yang dijelaskan.
5. Metode ilmu jarh wa ta’dilyang diberlakukan ulama hadis dengan pendekatan ontologi yaitu bahwa ilmu jarh wa ta’dildi mata filsafat keilmuan merupakan bangunan ilmu dalam lingkup empiris manusia dan dalam ilmu kemanusiaan (human science). Oleh karenanya, ilmu ini harus memposisikan dirinya sebagai ilmu yang memiliki metode tertentu yang sistematis dan memiliki tata nilai kebenaran tertentu. Sedangkan ilmu jarh wa ta’dildengan pendekatan epistemologi yaitu Metodologi ilmu jarh wa ta’dil ini difokuskan pada dua tokoh yang kredibilitasnya diakui oleh banyak ulama hadis, yakni Abu Hatim Ar-Razi dengan kitabnya al-jarh wa ta’dilyang mewakili masa klasik, dan Ibn Hajar al-Asqalani dengan kitabnya Tahdzhib al-Tahdzibyang mewakili periode tengah. Dipilihnya dua tokoh tersebut, disamping karena kredebilitas dan kapabilitas mereka yang handal, juga karena kedua kitab tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama-ulama hadis sesudahnya.
Demikiaanlah, Ilmu Al-Jarh Wa at-Ta’dil tumbuh bersama tumbuhnya periwayat dalam islam. Prinsip-prinsipnya telah tegak sejak sahabat. Tidak sedikit diantara mereka yang berbicara tentang para perawi. Banyak pula tabi’in dan generasi sesudah mereka yang berbicara tentang para perawi. Mereka menilai hal itu wajib karena merupakan salah satu bentuk nasehat kepada kaum muslimin, menegakan pilar-pilar agama dan memenuhi firman Allah Azza Wa Jalla.
Daftar Pustaka
Dr.Abd. wahidi, M.Ag,. Pengantar ulumul hadist “PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL”
Al-Qaththan, Manna’.Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Faisal, Mukarom. Menelaah Hadis. PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press, 2011
Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998
semoga bermanfaat yaa makalahnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar